Konsep Hunian Berimbang Sulit Terealisasi
15.23.00
1 Komentar
Konsep Hunian Berimbang Sulit Terealisasi - Kementerian ATR/BPN atau Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengklaim telah memiliki tanah cadangan umum negara yang dapat lahannya dapat dimanfaatkan untuk membangun hunian, terutama hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.
Walau masih sebatas konsep, kementrian ATR/BPN segera menyiapkan pengaplikasian bank tanah. Lahan cadangan umum tersebut rencananya akan dibuat sebagai sarana penyediaan rumah bagi MBR yang diharapkan tidak memberikan beban tambahan bagi mereka. Han MBR sendiri diketahui umumnya berada di daerah-daerah yang letaknya cukup jauh dari pusat kota di mana pusat bisnis dan kegiatan masyarakat berada.
Hal ini akhirnya membuat Menteri ATR/BPN, Ferry Mursyidan Baldan memprediksi bahwa akan terjadi penambahan beban biaya transportasi bagi MBR. Tidak hanya itu, ia juga menyebut lahan untuk perumahan MBR harus dipisahkan dengan lahan perumahan komersial. Penyediaan lahan pun kini berada di lokasi khusus yang berbeda dari lahan untuk rumah komersial. Hal inilah yang membuat konsep hunian berimbang sulit untuk diwujudkan.
Padahal, hunian berimbang adalah aturan yang diwajibkan untuk pengembang dalam membangun rumah tapak. Perbandingannya adalah 1:2:3. Artinya, dalam membangun satu rumah mewah, pengembang juga harus membangun sebanyak dua rumah kelas menengah, dan juga sebanyak 3 rumah kelas sederhana dalam satu hamparan. Bisa juga tidak dalam satu hamparan namun dalam satu wilayah kota/kabupaten.
Konsep inilah yang masih ditentang oleh pengembang dan asosiasi pengembang seperti Real Estat Indonesia (REI) dan juga Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (atau Apersi. Namun, kondisi saat ini disebut Ferry masih wajar karena masalah penyediaan lahan yang tepat adalah tanggung jawab negara.
Pemerintah membutuhkan pengembang untuk dap ember masukan terkait lokasi layak tersebut. Hal ini agar dapat terjadi pengubahan tata ruang yang baik.
Pengubahan tata ruang sendiri tidak harus mengalihkan fungsi lahan. misalnya bila dalam suatu wilayah pertanian justru layak untuk dibangun perumahan, seharusnya tanah tersebut dapat diubah peruntukannya. Dengan catatan, ada penambahan alokasi lahan untuk pertanian di wilayah lain.
Saat ini, program pembangunan Sejuta Rumah untuk masyarakat khususnya MBR sendiri sedang menurun. Misalnya di Jawa Barat, pembangunan jumlah rumah yang ditargetkan sebanyak 25.000 unit hanya terealisasi sebanyak 30 hingga 40 persennya saja hingga saat ini. Program ini diharapkan dapat membantu MBR untuk lebih mudah membeli rumah di tengah tingginya harga jual rumah saat ini.
Baca Juga :
WNA Boleh Beli Hunian, Bukan Tanah
3 Keunggulan KPR Syariah
Soal Blacklist BI dan Penyelesaiannya
Walau masih sebatas konsep, kementrian ATR/BPN segera menyiapkan pengaplikasian bank tanah. Lahan cadangan umum tersebut rencananya akan dibuat sebagai sarana penyediaan rumah bagi MBR yang diharapkan tidak memberikan beban tambahan bagi mereka. Han MBR sendiri diketahui umumnya berada di daerah-daerah yang letaknya cukup jauh dari pusat kota di mana pusat bisnis dan kegiatan masyarakat berada.
Hal ini akhirnya membuat Menteri ATR/BPN, Ferry Mursyidan Baldan memprediksi bahwa akan terjadi penambahan beban biaya transportasi bagi MBR. Tidak hanya itu, ia juga menyebut lahan untuk perumahan MBR harus dipisahkan dengan lahan perumahan komersial. Penyediaan lahan pun kini berada di lokasi khusus yang berbeda dari lahan untuk rumah komersial. Hal inilah yang membuat konsep hunian berimbang sulit untuk diwujudkan.
Padahal, hunian berimbang adalah aturan yang diwajibkan untuk pengembang dalam membangun rumah tapak. Perbandingannya adalah 1:2:3. Artinya, dalam membangun satu rumah mewah, pengembang juga harus membangun sebanyak dua rumah kelas menengah, dan juga sebanyak 3 rumah kelas sederhana dalam satu hamparan. Bisa juga tidak dalam satu hamparan namun dalam satu wilayah kota/kabupaten.
Konsep inilah yang masih ditentang oleh pengembang dan asosiasi pengembang seperti Real Estat Indonesia (REI) dan juga Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (atau Apersi. Namun, kondisi saat ini disebut Ferry masih wajar karena masalah penyediaan lahan yang tepat adalah tanggung jawab negara.
Pemerintah membutuhkan pengembang untuk dap ember masukan terkait lokasi layak tersebut. Hal ini agar dapat terjadi pengubahan tata ruang yang baik.
Pengubahan tata ruang sendiri tidak harus mengalihkan fungsi lahan. misalnya bila dalam suatu wilayah pertanian justru layak untuk dibangun perumahan, seharusnya tanah tersebut dapat diubah peruntukannya. Dengan catatan, ada penambahan alokasi lahan untuk pertanian di wilayah lain.
Saat ini, program pembangunan Sejuta Rumah untuk masyarakat khususnya MBR sendiri sedang menurun. Misalnya di Jawa Barat, pembangunan jumlah rumah yang ditargetkan sebanyak 25.000 unit hanya terealisasi sebanyak 30 hingga 40 persennya saja hingga saat ini. Program ini diharapkan dapat membantu MBR untuk lebih mudah membeli rumah di tengah tingginya harga jual rumah saat ini.
Baca Juga :
WNA Boleh Beli Hunian, Bukan Tanah
3 Keunggulan KPR Syariah
Soal Blacklist BI dan Penyelesaiannya
saya kurang ngerti apa itu hunian berimabng ... :P
BalasHapus